Setelah minggu lalu kakak-kakak mereka yang di SMA menjalani UN, minggu ini giliran siswa SMP yang melaksanakan UN selama 4 hari. Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun pemberitaan media TV seputar persiapan sekolah-sekolah menghadapi UN banyak yang diwarnai kegiatan doa bersama, perenungan, istighosah atau apapun istilahnya. Biasanya aktivitas itu melibatkan semua siswa yang akan mengikuti UN bersama para guru, dibimbing pemuka agama. Ada juga yang melibatkan orang tua siswa yang akan UN.
Tak jarang aktivitas itu diakhiri dengan tangis-tangisan yang sangat menguras energi dan mengaduk-aduk emosi siswa dan orangtuanya. Bahkan, bukan hal yang aneh jika para siswa yang sebenarnya secara psikis sudah tegang dan nervous menghadapi UN, saat melihat temannya menangis, ia pun ikut terbawa emosi dan menangis pula. Luapan emosi yang meledak dalam bentuk tangisan itu pun akhirnya berubah menjadi jeritan. Kondisi siswa yang konsentrasinya menang sengaja dikuras, akhirnya punya letupan emosi yang sama, yang tak jarang berakhir pada kesurupan/ kejang/trance massal.
Melihat keadaan seperti itu, saya jadi bertanya-tanya : kondusifkah acara semacam itu digelar 2-3 hari menjelang UN? Bukankah “momok” UN dan bayangan tidak lulus saja sudah cukup menyiksa batin siswa? Makin dekat hari – H pelaksanaan UN, seharusnya siswa butuh ketenangan, itu sebabnya selalu ada hari tenang, sedikitnya 3 hari sebelum UN. Lalu kenapa hari tenang di beberapa sekolah justru diisi dengan aktivitas yang tidak menenangkan namun justru menegangkan?
APA MAKSUD DAN TUJUAN DOA BERSAMA / PERENUNGAN?
Sebenarnya, apa maksud sekolah mengadakan doa bersama, perenungan atau istighosah? Saya yakin tujuannya pasti positif : ingin membekali siswa dengan kekuatan spiritual, berupa munajat dan permohonan yang sungguh-sungguh kepada Sang Maha Kuasa, sembari memasrahkan diri sepenuhnya pada kehendak Yang Memberi Hidup, setelah sebagai manusia biasa merasa maksimal dalam berupaya. Kalau maksudnya demikian, maka tujuannya pun pastilah memberikan rasa percaya diri pada siswa, bahwa setelah sekian lama berusaha keras dan kini meminta bantuan Allah, maka besok saat UN mereka tak lagi terbebani apapun, selain percaya bahwa Allah akan memberikan jalan yang terbaik. Tapi benarkah demikian prakteknya?
Dalam acara doa bersama itu seringkali – dan biasanya memang demikian – disisipkan materi perenungan diri, dimana siswa diajak untuk berintrospeksi atas segala perbuatan mereka selama ini, baik di sekolah, interaksi dengan guru dan teman-teman, maupun di rumah berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan rumah. Dalam perenungan itu mereka diajak kilas balik kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan, dosa-dosa yang sudah mereka perbuat.
Siswa diingatkan betapa malasnya mereka belajar selama ini, betapa bandelnya mereka di sekolah, betapa nakalnya mereka tak menghiraukan ajaran guru, betapa jahilnya mereka pada teman-temannya, dan banyak lagi kenakalan khas anak sekolah. Anak-anak itu juga diajak merenungi betapa besarnya dosa-dosa mereka pada kedua orang tuanya, suka melawan saat disuruh belajar, suka membohongi orang tua hanya untuk hang out dengan teman-teman, suka menilep uang sekolah dan menyusahkan orang tua, sementara belum tentu mereka mampu membahagiakan orang tua dengan hasil UN yang membanggakan.
Dampak dari perenungan itu, memang akhirnya banyak siswa yang menyesali diri habis-habisan. Mereka mengutuki diri atas perilaku tak seharusnya yang selama ini sudah terlanjur mereka lakukan. Penyesalan itu makin menyudutkan diri mereka ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa tak lama lagi mereka akan menghadapi UN yang “maha” berat, hasilnya belum tentu memuaskan. Mengingat kembali semua waktu dan kesempatan yang sudah tersia-sia, makin memojokkan mereka sebagai individu yang bersalah dan seolah “no point to return”. Sudah tak ada lagi waktu untuk belajar, tak mungkn mengulang kembali saat-saat dulu, seandainya aku dari dulu rajin belajar, seandainya aku sejak semula menuruti nasehat orang tua, dan berjuta penyesalan lainnya yang menyesak di dada kemudian membuncah menjadi ledakan tangis, teriakan bahwa kekejangan yang secara umum disebut kesurupan.
Dalam kondisi psikis seperti ini, dimana emosi dan konsentrasi siwa dibawa pada titik yang sama, maka ketegangan yang dirasakan seseorang langsung dengan mudah menular pada rekan lainnya. Maka, ketika 1 -2 orang mulai menangis, yang lain pun ikut menangis. Terutama pada siswa putri yang lebih peka, lebih mudah diajak berkonsentrasi, maka letupan emosi itu pun seolah seragam. Pola ini mirip dengan metode yang diterapkan dalam training ESQ besutan Ary Ginanjar Agustian, dimana memang tujuannya mengajak peserta bermuhasabah, berintrospeksi dan merenungi dosa, untuk kembali bertaubat kepada Allah. Itu sebabnya hampir di semua sessi Training ESQ ini selalu dipenuhi dengan isak tangis dan teriakan-teriakan mohon ampunan Allah.
WAKTU YANG TEPAT MENGAJAK SISWA MERENUNG
Jika maksudnya untuk membekali siswa dengan kepercayaan diri dan kemantapan dalam melangkah dan tujuannya untuk mengajak siswa “sadar diri” akan perilakunya dan memperbaiki diri, tentu ini aktivitas yang sangat terpuji dan perlu sekali dilakukan oleh sekolah, bersama siswa dan bila perlu libatkan orang tuanya. Masalahnya, kenapa harus dilakukan ketika UN sudah tinggal hitungan sebelah jari? Ketika siswa memasuki masa tenang dimana saatnya mereka melepaskan diri dari semua beban psikis dan lebih banyak beristirahat memulihkan stamina? Kalau mereka diajak merenungi “kenakalan”nya di masa lalu dan terbukti mereka menyesali diri sampai menangis segala, adakah kesempatan mereka memperbaiki diri? Sudah tak ada waktu lagi bukan? Nah, kalau begitu, penyesalan itu akan makin dalam dan menyiksa batin mereka. Akibatnya, siswa melangkah menghadapi UN justru dengan menanggung beban moril.
Alangkah baiknya jika acara semacam itu dilaksanakan 2 – 3 bulan sebelum UN. Semua siswa diajak serta, berikan sentuhan dan stimulus khusus pada siswa-siswa yang bandel dan biang keributan di sekolah. Upayakan hati mereka juga tersentuh, mau introspeksi diri sampai timbul penyesalan. Karena hanya dengan penyesalan itulah mereka bisa diajak untuk memperbaiki diri, beralih dari perilaku dan aktivitasnya yang kurang berguna selama ini, kemudian diajak untuk memanfaatkan sebaik-baiknya waktu tersisa untuk menebus segala kealpaan selama ini.
Dampaknya tentu akan jauh lebih baik. Siswa yang dulu bandel dan jarang memperhatikan saat guru mengajar, mungkin akan jadi lebih konsentrasi di kelas. Mereka yang sering membolos, membohongi orang tua dengan mengaku ikut bimbel padahal keluyuran di mall, mungkin akan kapok dan berubah jadi rajin dan mengisi waktunya untuk belajar. Mereka yang selama ini hubungannya tak harmonis dengan orang tua, diliputi ketegangan dan sering berantem, mungkin akan lebih “lunak”, tak lagi membantah dan menciptakan suasana kondusif di rumah. Dengan begitu mereka lebih betah di rumah, lebih bisa belajar dengan tenang, dan orang tua pun jadi lebih bersahabat mendukung anak.
Kalau aktivitas penyadaran itu sudah dilakukan sejak 2 – 3 bulan sebelum UN dan hasilnya positif, mampu mengubah siswa menjadi lebih baik dalam 2 – 3 bulan terakhir, maka seminggu atau beberapa hari menjelang UN, saat minggu tenang, siswa cukup diajak berdoa bersama dengan penuh keyakinan bahwa upaya mereka selama 2 – 3 bulan ini akan membuahkan hasil baik. Bukankah rasa percaya diri jauh lebih penting? Dengan percaya diri bahwa mereka telah memiliki bekal cukup untuk menghadapi UN, siswa tidak akan mudah mencontek, meski yang mengkomandani contek massal adalah gurunya. Siswa juga tak mudah terkecoh issu bocoran jawaban yang disebar melalui SMS. Sebab pada dasarnya siswa yang mencontek dan yang menyalin jawaban melalui SMS itu sebetulnya manifestasi dari rasa tak percaya diri?
Masih ingat anak AL, siswa SDN Gadel 2 yang tahun lalu jadi pusat pemberitaan gara-gara Ibunya melaporkan aksi contek massal di sekolahnya karena instruksi guru. Si anak AL ini bersikeras tidak rela memberikan contekan karena ia yakin jawabannya benar hasil dari upayanya belajar selama ini. Dan itu memang terbukti AL lulus dengan nilai terbaik di sekolahnya. Seorang mantan siswi SMA yang sudah lulus 2 -3 tahun lalu, ketika diwawancarai TV One berbagi cerita tentang pengalamannya menyalin jawaban UN yang didapat dari issu bocoran. Katanya : “Lumayanlah, sangat membantu, tingkat kebenarannya 80%”. Bukankah ini manifestasi dari “gambling”? Ibarat iseng-iseng berhadiah, kalau jawabannya benar ya syukur, kalau salah ya tak apalah, toh ia memang tak bisa menjawab tanpa bantuan bocoran jawaban itu.
Sebaliknya, sejumlah siswi sebuah SMP di Jakarta yang diwawancarai TV tadi pagi, mengaku sangat siap menghadapi UN karena mereka yakin. Kenapa yakin? Sebab katanya mereka sudah mempersiapkan diri secara ekstra selama 3 bulan terakhir. Nah, bukankah yang begini jauh lebih baik? Mengajak siswa benar-benar mempersiapkan diri sebaik-baknya dengan belajar dan berlatih mengerjakan soal, sampai mereka pede siap”tempur”. Perkara aktivitas doa bersama, muhasabah, perenungan, istighosah atau apapun namanya, lakukan saja 2 -3 bulan sebelum UN. Agar masih tersisa waktu untuk mengajak siswa berbenah, melakukan improvement dari dalam diri mereka sendiri. Karena hanya kesiapan diri mereka-lah yang akan membuat mereka tenang dan percaya diri dalam menghadapi UN.